Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, August 31, 2006

Kemiskinan Nelayan di Era Kemerdekaan

Seolah tak ada beban kehidupan yang menghimpit selama ini. Begitulah sikap sebagian besar anak bangsa ketika menyambut hari besar kemerdekaan yang ke-61. Meskipun berada dalam kondisi kemiskinan dan kegetiran hidup mereka tetap gembira merayakan peringatan Tujuh Belas Agustusan. Sikap itu pun terlihat pada kalangan nelayan. Tapi, sebagian nelayan yang kritis ada yang mempertanyakan, adakah kemerdekaan itu?
Memang, ada kebebasan bergerak dan hal ini – setidaknya – yang sungguh membedakan dibanding kondisi terjajah. Namun, keleluasaan bergerak itu seharusnya menggapai hasil (kesejahteraan) sebagaimana yang diimpikan para perintis kemerdekaan. Dan memang, kemakmuran – setidaknya – hidup layak menjadi target di balik cita-cita besar sebuah negeri merdeka. Sayang, kaum nelayan – terutama yang terkategori tradisional – masih terlalu jauh untuk mewujudkan impian indah itu.
Kemiskinan kalangan nelayan tradisionl memang fenomena aneh dan relatif sulit dijelaskan dengan rasional. Bagaimana tidak? Potensi sumber daya laut relatif tak terbatas. Potensi ini – antara lain – yang mendorong kalangan pencuri ikan berkeliaran di perairan nasional. Karena kemampuan armada laut dan persekongkolannya dengan oknum keamanan di perairan kita, para pencuri berhasil mengangkut ikan Indonesia tak kurang dari kisaran angka Rp 40 trilyun/tahun. Terlepas dari persoalan penangkapannya secara ilegal, yang perlu kita catat adalah kekayaan laut di perairan kita telah mendorong para pelaut mancanegara memburunya. Realitas ini seharusnya dijadikan kesadaran bahwa maksimalisasi upaya melaut berpotensi besar untuk menjadikan para nelayan makmur, minimal, terdapat tangga hidup layak.
Tapi, fakta di lapangan sebaliknya. Potret kemiskinan nelayan tradisional bukan hanya eksis hingga saat ini, tapi cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk di kalangan nelayan itu sendiri yang rata-rata mencapai kisaran 2,2 persen dari angka pertumbuhan penduduk nasional. Hingga saat ini, gambaran kemiskinan nelayan tradisional – seperti di daerah Jawa Tengah – mencapai angka kisaran empat jutaan. Di Jawa Timur, sebesar 33,86 persen penduduknya yang hidup di wilayah pesisir terkategori miskin. Bahkan, di Kabupaten Trenggalek dan Sumenep, lebih dari 50 persen penduduknya yang tinggal di daerah pesisir juga dalam keadaan miskin.

Peta kemiskinan nelayan tradisional di P. Jawa ini memang layak kita soroti. Landasannya, sekalipun posisi pulau ini hanya sekitar 7 persen dari luas seluruh teritorial Indonesia, tapi sekitar 60 persen penduduknya berada di P. Jawa. Sementara, sekitar 65 persen penduduk Jawa ini berada di wilayah pesisir. Dan sekitar 20 persen dari mereka yang tinggal di daerah pesisir itu ada dalam garis kemiskinan. Untuk itu, terdapat silogisme yang relatif proporsional: upaya menyelematkan masyarakat posisi P. Jawa sama artinya menyelamatkan 65 persen penduduk P. Jawa. Berarti, juga menyelematkan sekitar 60 persen penduduk Indonesia.
Kini, kita perlu telusuri sejumlah faktor yang mengakibatkan kemiskinan nelayan sulit berubah. Dalam hal ini, ketidakberpihakan Pemerintah terhadap kepentingan kaum nelayan. Seperti kita saksikan sejumlah kebijakan masa lampau telah mengakibatkan existing kemiskinan nelayan hingga saat ini. Dalam hal ini, kebijakan reklamasi selama beberapa tahun terakhir – atas nama penyediaan kawasan industri, perkantoran, transportasi, pariwisata, perhotelan dan pemukiman mewah – semua itu merugikan kepentingan kaum nelayan yang tinggal di wilayah pantai. Terkait dengan kebutuhan pemukiman mewah, kita tak bisa melupakan kebijakan Pemda Jakarta Utara yang memberikan izin reklamasi seluas 2.700 ha. dengan panjang 32 Km, membentang dari wilayah Tangerang hingga wilayah Bekasi. Akibat dari kebijakan Pemda ini telah mengakibatkan hilangnya perkampungan dan pekerjaan ribuan nelayan di Kanal Muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang, pemukiman di Taman Impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.
Tak jauh beda dengan Pemda DKI Jakarta, masyarakat pesisir di Semarang juga harus menghadapi pemaksaan: Pemda Jawa Tengah itu melakukan perampasan wilayah (tempat atau daerah hunian nelayan) dengan terang-terangan. Pencaplokan sekitar 108 ha. untuk pembangunan wisata dan perumahan mewah ini telah mengakibatkan hilangnya hak para nelayan atas sumberdaya pesisir dan laut sebagai tempat hidup dan mencari penghidupan. Akibat dari kebijakan antinelayan ini, telah mendorong arus urbanisasi ke kota sebagai penarik becak, kuli bangunan dan – di antara mereka yang wanita – terpaksa melacurkan diri (sebagai penjaja sek komersial).
Yang memprihatinkan, dampak dari reklamasi adalah terjadinya bencana banjir: air bah yang “berdatangan” dari pegunungan dan aau daratan tak bisa langsung masuk ke laut karena harus terbendung oleh bangunan-bangunan sekitar pantai. Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan, banjir yang terjadi – dari 1996–1999 – telah menggenangi 1.289 desa dan meningkat menjadi 2.823 desa pada 2003. Sebagian besar desa-desa yang terkena banjir adalah daerah-daerah tambak yang dikelola para nelayan. Ini berarti, masyarakat penambak telah kehilangan kehidupannya.
Ketidakberpihakan itu kian terlihat lagi ketika Pemerintah – atas nama mengurangi beban subsidi atau dalih lainnya – mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM. Dalam hal ini kita perlu mengenang kembali kebijakan kenaikan solar yang naik, dari harga Rp 1.600 menjadi Rp 2.100,-. Seperti kita ketahui, kebutuhan BBM untuk keperluan operasional melaut rata-rata mencapai kisaran 40 persen. Maka, dengan kenaikan harga BBM sebesar 28 persen, maka beban tambahan yang harus dipikul para nelayan dalam melaut menjadi 11,2 persen (hasil dari prosentase kenaikan BBM kali beban operasional melaut). Kenaikan harga BBM – barangkali – masih bisa dipahami oleh kalangan nelayan jika diikuti ketersediaannya. Justru yang menjadi masalah adalah barangnya (solar) – terutama di daerah-daerah sentra nelayan – relatif terbatas, sehingga ketika barangnya ada pun harga jauh lebih tinggi dari harga resmi Pemerintah.
Permainan seputar kelangkaan solar ini seharusnya sudah diantisipasi jauh sebelum paket kebijakan kenaikan harga BBM itu diterbitkan. Menghadapi dampak kontigion kebijakan kenaikan harga BBM itu, maka kebijakan tentang penyediaan solar di sentra-sentra nelayan menjadi penting dan sangat mendesak. Meski terketagori terlambat, namun kita dapat acung jempol (menilai positif) bahwa Pemerintah mengeluarkan program yang dipercepat, yakni pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN). Sampai saat ini, sebanyak 100 SPDN telah beroperasi di daerah-daerah sentra nelayan. Sebanyak 67 SPDN siap operasi, 117 lokasi telah mendapat persetujuan dan sebanyak 79 lokasi sedang dalam penjajakan. Sesuai dengan kebutuhan, Pemerintah telah menetapkan sasaran penyediaan 1.260 SPDN untuk 490 titik senra nelayan yang berada di 29 propinsi.
Sebuah renungan, apakah ketersediaan SPDN – secara otomatis – akan mengakhiri problem laten nelayan? Tidak, karena mereka tetap akan selalu diperhadapkan persoalan bagaimana harus melautnya dan hal ini terkait dengan biaya operasional. Dalam hal ini pembelian sekian liter solar ditambah kebutuhan pangan dan es selama melaut menjadi persoalan tersendiri. Hal ini – secara faktual – menjadi mangsa empuk para rentenir. Karena itu, bagian integral dari keberpihakan terhadap kepentingan nelayan, Pemerintah harus mampu memfasilitasi kebutuhan finansial para nelayan. Dalam hal ini, ada dua model yang bisa dikembangkan. Yaitu, seluruh SPDN memberikan tolerasi sistem pembayaran tunda bagi para nelayan yang mengambil sejumlah solarnya. Atau, Pemerintah (Departemen Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah) menginjeksi lembaga-lembaga perbankan ataupun nonbank untuk membantu secara profesional terhadap kebutuhan operasional nelayan dalam bentuk meminjami sejumlah dana tertentu dalam jangka waktu tertentu pula untuk bergeraknya nelayan secara produktif.
Idealnya, kaum nelayan itu sendiri – dengan ”menyewa” para profesional atau dari unsur nelayan itu sendiri – mampu mendirikan lembaga ekonomi pengembangan mikro masyarakat nelayan, berbentuk koperasi atau lainnya. Urgensi dari kehadiran lembaga mitra ekonomi ini adalah untuk melepaskan jeratan rentenir yang terus menggerogoti pendapatan nelayan selama ini. Lembaga koperasi ini pun perlu mendeversifikasikan skimnya: yakni, tetap menguatkan skim simpan-pinjamnya. Juga, perlu mengalokasikan dananya untuk membangun pabrik es dan penyediaan 10 bahan pokok. Yang menarik untuk dicatat, lembaga koperasi ini bukan hanya akan hidup, tapi juga sisa hasil usahanya yang akan kembali ke para anggota (nelayan). Jika model ini diberlakukan dengan ketat atau penuh disiplin, kiranya bukan hanya mampu melepaskan diri dari cenkeraman kaum rentenir selama ini, tapi juga tahaban kesejahteraan nelayan dan keluarganya yang bakal menaik.
Yang teramat penting, keluarga nelayan – atas sistem permodalan yang ada – harus kreatif dalam melangkah ke unit-unit produksi lainnya. Di satu sisi, kalangan kepala keluarga (kaum lelakinya) melaut, di sisi lain, yang tidak melaut dapat menjalankan usaha budidaya seperti rumput laut, pengasinan dan lainnya. Dalam kaitan ini, kiranya Pemerintah perlu memfasilitasi sejumlah nelayan atau pihak tertentu yang bermain di dunia kelautan untuk memperjuangkan pemasarannya: di dalam ataupun luar negeri. Yang terpenting adalah hindari eksploitasi atas ketidaktahuan kaum nelayan, yakni mendapatkan barang murah, tapi dijual setinggi-tingginya. Dalam hal ini sikap empati harus ada dalam setiap diri pemasar.
Hingga kini, keberpihakan terhadap kepentingan kaum nelayan masih tetap terbatas. Akibatnya, kaum nelayan masih sering diperhadapkan sejumlah risiko ekonomi yang terus menyakitkan, antara lain, kemiskinan yang tak pernah berakhir. Realitas ini mengakibatkan mereka bertanya: benarkah negeri ini telah merdeka. Jika ya, mengapa nasib sosial-ekonominya tak pernah berubah sebagaimana yang diimpikan para perintis kemerdekaan. Gejolak pertanyaan ini perlu direspons positif-konstruktif dan penuh empati. Nelayan juga manusia, punya hak dan harga diri seperti umat manusia lainnya yang kini relatif telah beruntung.

Dimuat di Investor Daily, 30 Agustus 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home