Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

Anak-bini Koruptor: Haruskah Dipenjara?


Belum lama ini, ketua MPR menyampaikan sikap: anak dan bini koruptor perlu mendapatkan sanksi (dipenjara) sesuai dengan tindakan hukum sang ayah atau suami yang berkorupsi setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap. Sebuah sikap yang berlebihan dan tidak proporsional, atau memang layak?
Jawabnya sangat tergantung dari siapa yang menilai. Kalangan ahli dan praktisi hukum kemungkinan tersenyum geli, karena sistem hukum kita bahkan di manapun memang tidak mengenalnya. Meski demikian, apakah ketiadaan sistem itu menimbulkan ketidakbolehan apalagi larangan dalam mengambil tindakan hukum yang justru kini dinanti urgensinya oleh banyak publik untuk kepentingan rekonstruksi berbagai aspek kehidupan? Apakah ketiadaannya juga menimbulkan tindakan hukumnya menjadi cacat hukum sehingga harus batal demi hukum itu sendiri?
Memang, secara teoritik, tiadanya dasar hukum yang pasti menjadikan hasil hukumnya lemah, bahkan cacat. Karenanya, siapapun dapat menuntut untuk menganulir sebuah keputusan atau produk hukum yang tak berdasar itu. Dalam hal ini, kita perlu mencatat – pertama – hukum positif yang ada adalah produk manusia yang tak mungkin lepas dari kelemahan, apalagi sebagian besar pijakannya warisan kolonial Belanda. Untuk itulah perlu dipikirkan tentang penyesuaiannya dengan tuntutan objektif masyarakat. Kedua, produk hukum tak boleh terlepas dari anasir sosiologis, dalam konteks kondisi sosial itu sendiri atau lainnya seperti ekonomi, budaya dan politik. Pengaitan sejumlah unsur ini akan mencerminkan eksistensi hukum yang kontekstual: sesuai perkembangan zaman.
Kita tahu, para koruptor – apalagi kelas kakap – sangat tidak mungkin menikmatinya sendirian. Keluarganya (anak-istri, bahkan cucu dan atau cicitnya) tak sedikit yang ikut menikmatinya, mulai dari bentuk sarana dan prasarana yang dibangun dari harta kotor itu, sampai banyak hal yang dapat dirasakan seperti makanan dan minuman.
Dalam perspektif keagamaan (Islam), siapapun yang ikut menikmati harta haram itu – terutama dari makanan dan minuman – menjadikan darah yang mengalirnya tidak “sehat”. Semakin sering atau banyak menikmatinya, semakin tidak sehat aliran darahnya. Implikasinya, sebagian mereka sering diterpa penyakit pada fisiknya. Tapi, sebagian lagi sakit mentalnya. Dan inilah yang membuat keluarga koruptor – secara empirik – sering bermasalah, minimal, ketidaktenangan. Ada saja masalah. Pendek kata, nilai hartanya tidak memberikan barokah.
Perspektif keagamaan itu – secara qiyasi – sebenarnya bisa dijadikan kerangka hukum atau undang-undang untuk menentukan sikap kepada siapa saja yang ikut menikmati harta haram (korupsi). Refleksinya, ketiadaan sistem hukum tentang tanggung jawab renteng perlu dan segera dirumuskan inovasi produk hukumnya. Landasannya, langkah ini merupakan tuntutan objektif, di mana anak-bini dan atau keluarga koruptor bukan hanya ikut menikmati harta ilegalnya, tapi begitu leluasa menghirup alam bebas, padahal dirinya ikut menikmati manisnya hasil korupsi.
Mereka semakin merasakan kenikmatannya ketika suami (koruptor) dapat menyelamatkan diri ke luar negeri. Dengan keselamatan anak-bini – ditambah sang koruptornya juga selamat – maka lengkaplah rancang-bangun dunia korupsi di tanah air ini dan kian berdaya tarik bagi para “kandidat” koruptor. Maka, korupsi bukan hanya kian berkembang, tapi terus mengakar dengan begitu kuatnya. Sementara, jika anak-istri tetap jauh dari suami (atau istri) koruptor yang kabur, penderitaannya hanyalah masalah tidak jumpa keluarga. Meski perpisahan ini menyakitkan, tapi sanksi yuridis seperti dipenjara jauh lebih menderitakan.
Satu hal yang tak boleh diabaikan – sebagai hal ketiga – tak sedikit suami yang berkorupsi karena dorongan bini dan atau anak. Realitas ini menjadikan proporsi tanggung jawab renteng punya landasan sosiologis yang cukup kuat. Karena itu, sikap dan pemikiran Ketua MPR, bukan hanya punya landasan, tapi juga sesuai dengan aspirasi publik yang menghendaki penegakan hukum dan terwujudnya keadilan.
Barangkali, yang perlu ditegaskan adalah batasan usia keluarga (anak) yang ikut menikmati harta haram. Dalam sistem hukum barat, tindakan hukum yang dapat dipertangungjawabkan adalah usia 17 tahun ke atas, atau usia sebelumnya tapi telah nikah. Sedangkan Islam adalah aqil baligh: maksimal 15 tahun. Andai yang dijadikan dasar hukum barat, maka anak-anak yang telah berusia 17 tahun atau telah nikah, harus ikut bertanggung jawab atas tindakan koruptif orang tuanya.
Sebuah spirit yang perlu digaris-bawahi, dilibatkannya anak-bini dalam kasus korupsi suaminya atau anak-suami pada kasus korupsi istrinya menggerakkan mereka terpanggil untuk bersama-sama mengontrol bahkan mencegah tindakan korupsi keluarganya. Sistem kontrol atau pencegahan dari dalam ini sebenarnya dapat dijadikan model yang cukup efektif dalam menghadapi gurita korupsi di tanah air ini.
Di sinilah peran anggota keluarga. Sepanjang tekad dan gaya hidupnya konstruktif, insya Allah, akan memberikan pengaruh baik bagi pribadinya. Karenanya, model ini dapat kita diskusikan lebih jauh, baik dari sisi inovasi produk hukum, komitmen dan urgensi penegakan hukum untuk kepentingan publik, beragam kendala yang selama ini menggurita dan terobosan alternatif yang prospektif.
Jika seluruh variabel itu disorot, kiranya model preventif dari peran anggota keluarga lebih memberikan harapan. Barangkali yang perlu disorot lagi, perlu ada aturan main baru bahwa di tengah lembaga-lembaga layanan publik, siapapun (jika ia suami) yang akan memegang jabatan – termasuk anggota keluarganya (sebagai anak atau bini) yang telah dewasa menurut hukum – perlu menanda-tangani “kontrak sosial”.
Sebuah makna signifikan dari nilai kontrak sosial itu adalah – pertama – keterlibatan anggota keluarga untuk senantiasa ikut mengawasi sekaligus mempertanyakan nilai harta yang diperolehnya, terutama pendapatan di luar gaji rutinnya. Peranan keluarga bagai sistem pengawasan melekat yang jauh lebih riil dibanding sistem pengawasan yang pernah dikembangkan mantan Wapres Sudarmono yang ternyata tidak dapat bicara banyak hasilnya. Kedua dan hal ini tampaknya dapat menjadi kecenderungan baru, yaitu tak akan terjadi upaya yang memburu jabatan strategis dalam lembaga layanan publik, setidaknya menjauhinya. Meski terdapat tunjangan jabatan dengan nilai rupiah tertentu, namun konsekuensi hukum untuk dirinya dan keluarganya (anak-bini) jauh lebih berisiko: di samping tahanan dan atau pemenjaraan, juga rasa malu karena pempublikasiannya yang ekstensif.
Sebuah manfaat konstruktif dari kecenderungan baru itu adalah akan semakin berkurangnya perilaku penjilatan terhadap atasan yang selama ini sering terjadi dalam kerangka mencapai target jabatan. Juga, akan semakin terjauhkan dari praktik kompetisi tidak sehat akibat memburu jabatan. Dan di luar persoalan internal itu, siapapun yang telah mendapat jabatan akan ngeri dalam memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan sempit pribadinya (kolusi, apalagi korupsi).
Dan ketiga, kontrak sosial dan konsekuensinya itu – insya Allah – akan mendorong keluarga (anak-bini) untuk menerima apa adanya atas pendapatan yang dicapai suaminya. Secara langsung atau tidak, sikap ini berpotensi untuk membangun gaya hidup sederhana yang selama ini sering didengungkan dan cenderung lip service. Dalam kaitan ini kita dapat berandai-andai, jika pejabat publik dan keluarganya dapat hidup sederhana, tentu akan memberikan kontribusi positif-konstruktif bagi upaya pemulihan ekonomi nasional.
Warna baru kesederhanaan hidup pejabat publik itu pun bukan tak mungkin dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Mereka – ketika ingin masuk ke PNS – tidak lagi harus memaksakan diri untuk menyogok, sebuah format budaya yang kini masih mengkristal dan sering dieksploitasi oleh oknum tertentu. Bukanlah tak mungkin, keengganan itu karena melihat realitas kehidupan para pejabat publik yang tidak lagi serba “wah” dan terus dibayang-bayangi ancaman hukuman jika keluar dari rel. Dengan cara pandang seperti ini, maka siapapun yang masuk ke PNS memang – dari awal – sudah bermotivasi untuk mengabdi, bukan sebaliknya.
Dengan mencermati sejumlah efek samping itu, maka ketiadaan sistem tanggung jawab renteng dalam kamus hukum – terutama yang terkait dengan korupsi dan kolusi – sudah saatnya dirumuskan serius kelahirannya. Sejalan dengan pengaruh konstruktifnya cukup nyata bagi kepentingan publik, maka tidaklah berlebihan jika muncul opini bahwa gagasan Ketua MPR bukan hanya tidak melawan arus, tapi memang cukup krusial dan urgen kehadirannya. Harapan kita, semoga gagasannya bukan hanya wacana, tapi sampai pada tingkat realisasi sehingga keberadaannya akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan publik. Mudah-mudahan.
(Dimuat Harian Fajar, 22 Agustus 2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home