Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

Mengembalikan Citra Baik Pemerintah


Sejak itu, aksi demonstrasi terus berlangsung, terutama dari kalangan mahasiswa. Sebagian besar fraksi di DPR juga bereaksi keras, meskipun sebagian lagi ada yang memahami kenaikan harga BBM itu. Perbedaan pendapat tadi memuncak pada sidang paripurna DPR Puncaknya terjadi 'kericuhan' saat rapat paripurna DPR. Muncul renungan, benarkah keberatan sejumlah teman di lembaga legislatif, terutama FPDIP, karena berupaya keras untuk memperingan beban ekonomi rakyat, atau merupakan pembalasan politik atas kekelahan kandidatnya dalam perebutan kekuasaan dalam Pemilu 2004?
Jika berjuang demi rakyat, mangapa saat Megawati berkuasa, mereka tidak bersikap atas kebijakan kenaikan harga BBM yang rata-ratanya mencapai Rp 216,24 per liternya? Bahkan, juga kenaikan tarif dasar listrik yang mencapai 42 persen dan kenaikan tarif dasar telepon sebesar 35 persen? Jika mereka konsisten membela kepentingan rakyat, mereka harusnya menentang keras kebijakan yang dikeluarkan pada 2 Januari 2003 itu?
Hikmah
Meski demikian, manuver politik di parlemen itu mengandung hikmah besar. Yaitu, pemerintah harus lebih kuat untuk mengefektifkan program penyaluran dana kompensasi BBM untuk mengurangi angka kemiskinan. Pemerintah harus segera menindak secara hukum manakala terjadi penyalahgunaan dana kompensasi BBM, terutama korupsi yang dilakukan birokrasi. Selama ini, rakyat menyangsikan dana tersebut akan sampai pada yang berhak. Krisis kepercayaan itu merupakan warisan masa lalu karena lembaga birokrasi cenderung menilep dana-dana sosial untuk kepentingan publik. Itulah sebabnya maka pemerintah harus lebih tajam dan tegas dalam memantau aliran dana kompensasi BBM. Dari penindakan tegas terhadap para pihak yang menyalahgunakan dana kompensasi BBM berlanjut ke penegakan supremasi hukum lainnya.
Dalam hal ini, pemerintah melalui Kejaksaan Agung harus jauh lebih terpanggil dalam mengatasi problem korupsi-kolusi yang melibatkan pejabat tinggi negara (yang masih aktif ataupun mantan) dan kalangan konglomerat hitam yang selama ini tercatat ''kebal hukum''. Ampuhnya penegakkan hukum menjadi semacam ''kompensasi'' tersendiri bagi rakyat.
Pasalnya, para koruptor yang masih menghirup udara bebas itu telah memakan uang negara yang notobene seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Secara tidak langsung, jebolnya keuangan negara mendorong pemerintah melakukan berbagai pengetatan, termasuk menghapus subsidi BBM. Jadi, tak ada alasan lagi bagi pemerintah dan aparat untuk 'bermain-main' dengan para koruptor.
Mencermati lembeknya penegakan hukum di Indonesia, rasanya wajar ketika salah seorang anggota Dewan mengkritik jaksa agung sebagai ''ustadz di kampung maling''. Sayangnya, kiasan ini tidak dipahami substansi dan spiritnya. Sungguh disayangkan kritik yang seharusnya menggelorakan semangat pemberantasan korupsi justru diabaikan dan dijadikan sikap politik untuk tidak kooperatif terhadap Dewan. Padahal, komitmen dan realisasi penegakkan hukum akan menumbuhkan sentimen pasar yang positif dan mengembalikan citra pemerintah yang bersih.
Di sisi lain, pemerintah sudah saatnya memantau secara serius dan bersikap proaktif terhadap lembaga-lembaga birokrasi masih korup. Pemerintah harus melakukan pembenahan bahkan reformasi internal, terutama lembaga yang berkaitan dengan masalah keuangan, seperti Departemen Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Menurut temuan Transparancy International Indonesia (TII), tingkat kebocoran di Ditjen Pajak karena faktor suap (tidak masuk ke kas negara) mencapai Rp 12,7 miliar per tahun. Di lembaga Bea Cukai kebocoran mencapai Rp 23 miliar per tahun.
Mutasi
Banyak upaya yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan perbaikan birokrasi. Sekali lagi, prinsip utama yang harus dipegang adalah pemerintah harus bertindak tegas terhadap siapa pun yang terbukti menyalahgunakan jabatan. Bentuknya antara lain pemprosesan hukum bagi sang pelaku, atau segera memecat, minimal memutasikan mereka.
Pos-pos yang dikenal 'basah' harus diisi oleh pejabat dan pegawai yang amanah dann teruji integritasnya. Cukup banyak pegawai yang antikorupsi. Mereka memiliki tingkat ketakwaan yang cukup kukuh sehingga berkomitmen untuk memegang teguh amanah yang diembankan padanya. Tindakan itu awalnya akan mempersulit dinamika kerja birokrasi akibat perubahan sistem. Namun, para pejabat yang jujur dan amanah sepanjang didukung kuat oleh pemrintah pusat, insya Allah akan mampu merestrukturisasi sistem yang amburadul dan korup itu. Hasil yang segera tampak adalah peningkatan pendapatan dari sektor pajak dan bea cukai. Kebijakan ini menjadi pertanda adanya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.
Citra positif yang terpancar dari bersihnya birokrasi akan meningkat lagi apabila pemerintah pascakenaikan harga BBM membuat kebijakan prorakyat. Misalnya, menerapkan kebijakan biaya pendidikan gratis, atau pengobatan gratis (seperti di puskesmas dan rumah sakit umum). Pemerintah harus melihat bahwa banyak penduduk miskin yang takut berobat ke rumah sakit karena dibayangi biaya yang mahal. Banyak yang rumah sakit yang tidak bersikap kooperatif terhadap rakyat miskin. Pasien bahkan harus membayar di muka apabila hendak di rawat di rumah sakit.
Memang sejauh ini ada rumah sakit umum apalagi puskesmas yang memberikan pelayanan pengobatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu. Tapi, semua itu dilakukan setelah melalui proses birokrasi yang panjang dan berbelit, mulai dari tingkat RT/RW sampai keluarahan untuk mendapatkan keterangan keluarga tak mampu. Sementara, pihak rumah sakit umum --sebelum keterangan tak mampu diperoleh-- tetap memberlakukan pembayaran atas semua jasa yang diberikannya.
Jadi, andai pemerintah berani mengeluarkan kebijakan populis seperti itu, tentu aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM malah tidak populer di mata rakyat. Dengan demikian, pascakenaikan harga BBM, pemerintah ditantang untuk segera memperlihatkan gebrakan riilnya, dalam kaitan kompensasi dana BBM, atau kompensasi bentuk lainnya seperti penegakkan supremasi hukum, pendidikan gratis, dan layanan kesehatan. Inilah sikap bijak pemerintah yang akan jauh lebih terpuji, sekaligus menjadi model taktis untuk menjawab keberatan para penentang kenaikan harga BBM.
(Harian Republika, Sabtu, 02 April 2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home