Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

Bom di Tengah London: Dimensi Kemanusiaan

Boleh jadi, Tonny Blair tidak menduga sebagian wilayah negerinya menjadi sasaran bom teroris. Namun, kalangan lain tentu sudah memperkirakan akan terjadi tindakan kekerasan yang merenunggut nyawa, setidaknya, melukai banyak orang, berat ataupun ringan. Yang perlu kita catat lebih jauh, apa makna yang dapat kita lansir dari aksi antikemanusiaan itu?
Barangkali, Tuan Tonny Blair dan para sekutu utamanya dari Amerika atau lainnya perlu merenung secara introspektif. Bukan persoalan keamanan yang kecolongan, tapi implikasi yang memang - secara sunnatullah - akan muncul akibat kebijakan pemerintahannya ataupun hasil konspirasinya yang sungguh melukai kepentingan kemanusiaan. Dalam hal ini, umat sedunia tentu sepakat tentang ketidakrelaannya membiarkan rezim Saddam di tengah Irak karena kediktatorannya. Namun, umat sedunia juga tak rela melihat kebiadaban Inggris dan para sekutunya dalam membantai sebuah bangsa yang sudah menderita sekian lama itu.
Boleh jadi, bom di tengah London merupakan peringatan terhadap Blair dan para pemimpin dunia lainnya yang - secara sistimatis - telah menghancurkan kepentingan kemanusiaan di tengah Irak ataupun belahan lainnya. Peringatan ini haruslah jangan dilihat sebagai pembalasan, tapi bagaimana menghentikan kebiadabannya selama ini di berbagai belahan bumi, tidak hanya di Irak. Pemerkosaan hak hidup - apalagi secara sporadis dan ekstensif - akan membangkitkan perlawanan. Proporsinya sunnatullah.
Sebenarnya, peringatan dari para korban - terutama dari berbagai kalangan yang empati - sudah sering diekspresikan. Tapi, pendekatan verbal berupa kecaman tulis ataupun lisan tidak pernah digubris: kebijakan antikemanusiaan terus berlanjut, meski berdalih memerangi terorisme di muka bumi ini. Tentu dalih ini (memerangi terorisme) perlu kita junjung tinggi, tapi syaratnya adalah tidak membabi-buta. Justru, pembabi-butaan ini menggiring pertanyaan yang cukup mendasar, apakah aksi antiterorisme hanyalah kedok dan intinya merupakan strategi global untuk memusnahkan komunitas tertentu (muslim) dari berbagai etnik? Pertanyaan ini tak lepas dari minimnya tindakan terhadap komunitas lainnya yang diduga kuat juga sering melakukan tindakan kekerasan (antikemanusian). Diskriminasi ini merefleksikan bukan hanya ketidakadilan, tapi memang mempertegas alamat yang harus dibidik (muslim).
Dalam hal ini - boleh jadi - kalangan muslim sendiri tak sependapat dengan skenario pembantaian etnik dan rasial yang bernuansa agamis ini. Tapi, marilah kita berpikir jernih dalam melihat fenomena ketidakadilan itu dan siapa korban yang sering dirugikan, baik akibat serangan secara sistimatis dengan kekuatan senjatanya, atau konspirasi politik lainnya. Inilah realitas yang tak dapat dipungkiri, meski dalam komunitas muslim lainnya terlepas dari bidikan. Komunitas yang selama ini dinilai sebagai aliran moderat ini - jika kita amati secara jernih - memang berusaha menjauh dari tindakan kontranya dengan kepentingan asing. Karenanya dapat dihapami pula di antara komunitas muslim ini - dalam berbagai hal - mendapat santunan tertentu dalam jumlah yang cukup signifikan. Mengalir dari pihak asing untuk mereka yang senantiasa diam atas arogansi asing dalam bentuk bantuan program, termasuk beasiswa dan lainnya.
Hak mereka untuk memilih tidak berseberangan dengan kepentingan negara-negara maju. Namun, sikap ini layak kita pertanyakan sejalan dengan identitas kesaudaraan sesama umat yang harusnya saling membahu, bukan melemahkan saudaranya sendiri. Boleh jadi, sikap kebersatuan sesama muslim terlalu utopis. Jika barisan muslim yang sering menegaskan diri anti dengan istilah fondamentalis ini memang mengagungkan kemansiaan, maka refleksi yang terpentingnya adalah juga menyikapi secara kritis terhadap para koleganya dari asing itu yang memang sering menabrak kepentingan kemanusiaan di muka bumi ini. Realitas kekerasan yang diperlihatkan di muka bumi itulah yang harus disikapi, bukan diam hanya karena menjaga nilai persahabatan yang sebenarnya bernuansa pragmatik-sempit.
Jika kita soroti kembali persoalan bom di tengah London beberapa hari lalu, kita dapat menggaris-bawahi bahwa ledakan itu jauh tidak sebanding dengan apa yang terjadi di Irak, Palestina atau negara-negara lainnya yang muslimnya menjadi bidikan. Memang, jumlah korbannya (yang mati) mencapai sekitar 50 orang dan sekitar 700 orang luka-luka. Jumlah korban ini terkategori besar, tapi masih tetap jauh di bawah jumlah korban yang menimpa anak bangsa Irak, Palestina. Lebih dari itu, tim penanganan pasca ledakan itu - terutama yang luka-luka - begitu cepat dan sarananya pun memadahi. Sementara, korban yang bergelimpangan di tengah Irak bahkan tempat lainnya seperti di Palestina tak diimbangi dengan kesigapan yang memadahi. Sementara, sarana mediknya pun sangat terbatas. Kalau toh ada, prasarananya bahkan tenaga mediknya tidak mencukupi. Kita dapat membayangkan betapa sejumlah aksi kekerasan di tengah Irak dengan persenjataan canggih itu benar-benar melampaui batas ketidakmanusiaan, padahal misi formal yang dikumandangkan adalah kemanusiaan itu sendiri. Sangat paradoks dan ironis.
Dengan paradoksalitas itu, kita perlu mencatat bahwa apa yang terjadi di tengah London adalah hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan, apalagi dipolitisasi: dirancang untuk menjastifikasi tindakan antiterorismenya secara membabi-buta. Tapi, jika Inggris dan para sekutunya menjadikan bom London sebagai stimulus untuk meningkatkan aksi antikemanusiaannya di berbagai belahan dunia dan gelagat ini sudah mulai muncul, maka sebagian masyarakat kita semakin mencium skenario terselubung di balik aksi teror itu. Yaitu, memperkuat gerakan pencitraan negatif terhadap komunitas tertentu yang selama ini memang menjadi bidikan utama, sekaligus menjastifikasi kebijakan politik luar negerinya dalam ikut serta membantai anak-bangsa Irak. Dengan model analisis ini, kita dapat menangkap substasi ledakan bom di tengah London. Yaitu, sebuah manuver politik dalam kerangka mendongkrak populeritas Blair. Dan sekarang ini, Blair memang membutuhkan pendongkrakan itu.
Yang perlu kita catat, sensasi untuk kepentingan sempit pribadinya harus menelan rakyatnya sendiri. Ketegaan ini menjadikan sebagian publik internasional menemukan jawaban mengapa Blair ngotot bersama Bush dan para pemimpin dunia lainnya dalam mengagresi bangsa Irak hingga kini. Haruskah realitas ketegaan itu ditolelir, meski wajah yang disampaikan selalu atas nama antiterorisme? Juga, haruskah manut (tunduk) dengan segenap titahnya untuk memerangi terorisme?
Tentu kita sepakat bahwa tindakan teroristik harus dihentikan. Namun pendekatannya tidak boleh dengan cara-cara teroristik juga. Sejauh ini kita saksikan pendekatan yang dikembangkan - dan hal ini yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara maju dari barat atau timur, setidaknya merupakan buah persekongkolan - adalah menumpasnya dengan kekerasan pula, lebih kejam, menelan korban dalam jumlah yang jauh lebih besar. Di sisi lain, dilakukan pula agitasi (pencitraan negatif) terhadap kalangan tertentu yang cenderung lebih dialamatkan ke identitas muslim. Sementara para aktor kekerasan dari komunitas lainnya seperti diabaikan (tidak menjadi sasaran atau target). Terdapat sikap diskriminatif yang cukup kontras.
Tak dapat disangkal, pendekatan tersebut - secara sistemik - justru membangun kekecewaan yang mendalam bagi kalangan muslim khususnya yang selama ini memang menjadi target dengan berbagai rekayasanya. Inilah yang harus dipahami dan selanjutnya - dalam kerangka mencegah potensi terorisme - harus mengurangi cara-cara teroristik dan sejumlah skenario yang terus mendeskreditkan kepentingan umat. Proporsinya sarat dengan dimensi kemanusiaan. Karenanya, semua komponen - dari barat ataupun timur, dari barisan muslim tanpa membedakan warna - perlu melihat dengan jernih atas dimensi kemanusiaan ini. Refleksinya adalah kebersamaan sikap dalam menghadapi arogansi siapapun yang mengedepankan kekerasan, meski atas nama antiterorisme. Sudah saatnya kita semua memperlihatkan kebersamaan itu. Urgensinya untuk misi kemanusiaan.
Jakarta, 11 Juli 2005
Penulis: anggota DPR RI dari FPKS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home