Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

PKS-Negara Islam: Fatsoen Politik


Keberadaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kian disorot oleh publik, tidak hanya di tanah air ini, tapi tampaknya juga masyarakat internasional. Yang menjadi pusat perhatiannya bukan prestasi kinerjanya, tapi ideologi partai yang sarat dengan nilai-nilai Islam, di samping para kadernya - dari Pusat hingga ranting - terlihat punya integritas terhadap agamanya. Dominasi nilai yang dikandungnya mendorong sebagian publik domestik bahkan sebagian masyarakat internasional mempertanyakan, akankah PKS mendirikan negara Islam di tanah air yang masyarakatnya sangat majemuk ini?
Dapat dipahami pertanyaan yang penuh curiga itu. Landasannya - pertama - masyarakat tampaknya meyakini bahwa perkembangan PKS ke depan akan lebih besar lagi. Perkiraan ini didasarkan pada reputasi kinerja yang dicapai pada pemilu 2004 lalu, soliditas partai yang relatif terjauh dari situasi konfliktual internal, perilaku politik para kadernya di lembaga legislatif atau lainnya yang dinilai masyarakat cukup santun, memegang amanah dan akuntabiltas. Semua ini - diakui banyak kalangan - menjadi faktor penting yang mampu menumbuhkan empati sebagai besar publik dari kalangan agamis atau lainnya. Empati ini - dalam perspektif politik - jelas berkorelasi positif terhadap prediksi kian membessarnya PKS dalam pemilu 2009 mendatang. Prediksi akan diuji lagi melalui keberhasilannya pada kompetisi pilkada di berbagai daerah.
Dari perkiraan itu, sebagian masyarakat melihat potensi PKS yang memberi kemungkinan untuk tampil sebagai the roling party. Setidaknya, akan menjadi mitra utama secara dominan dalam mendampingi penguasa, sehingga posisinya memang punya daya tawar (bargaining position) tinggi. Dari prediksi ini, maka dapat dipahami kecurigaan sebagian publik bahwa keberhasilannya akan dijadikan momentum untuk memperjuangkan obsesi tertentu yang bernilai agamis, termasuk bentuk negara Islam. Kecurigaan ini - sebagai landasan kedua - tak lepas dari dukungan riil masyarakat yang memang tampak agamis. Berangkat dari warna pendukung ini, maka cita-cita melahirkan negara Islam dapat dikatakan merupakan amanat konstituen (rakyat) yang tak boleh diingkari. Bukan tak mungkin, persoalan negara Islam merupakan kontrak social yang harus diperjuangkan.
Hak mereka (kalangan non PKS) untuk menilai seperti itu. Namun, penulis sebagai kader PKS perlu mereview dengan jernih. Dalam hal ini PKS menyadari sepenuhnya makna sejarah kelam tentang memperjuangkan negara Islam tempo dulu. Di sisi lain, PKS pun sangat memahami hetergonitas masyarakat dalam beragama, pandangan bahkan kepentingan yang sangat tidak mungkin dipaksakan satu (harus sama), termasuk masalah HAM yang sering dijadikan senjata para kontrarian dari dalam ataupun luar negeri. Bahkan, PKS pun sangat menyadari sorotan dunia internasional yang cenderung tidak fair atau tidak proporsional dalam melihat kiprah saudara-saudara kita yang berusaha kaffah dalam menjalankan nilai-nilai Islam.
Realitas kemajemukan masyarakat - secara sosiologis dan psikologis - akan menjadi faktor destruktif tersendiri jika dipaksakan untuk menerima kehendak pihak tertentu seperti bentuk negara Islam. Pemaksaan - dalam perspektif dakwah - justru tidak strategis karena berdampak pada penjauhan sasaran atau target, bahkan lebih vital: kian tidak disukai. Sementara, pemaksaan itu - jika kita lihat kembali nash al-Qur`an (Q.S al-Ikhlas: 4) - pun dapat dinilai tidak sejalan. Secara eksplisit, ayat ini bukan hanya mengajarkan toleransi dalam beragama, tapi juga menghargai adanya pilihan lain dengan segala konsekuensinya.
Bagi PKS, yang jauh lebih penting adalah nilai-nilai Islam yang mampu mewarnai seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks negara, teman-teman PKS di berbagai lini - yang ada di parlemen atau lainnya - senantiasa memperjuangkan urgensi pengelola negara yang bersih (clean government atau good governance) dari unsur korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, penegakan hukum dan kepentingan publik pada umumnya yang menyentuh ke persoalan kesejahteraan, hak kesehatan, hak pendidikan dan lainnya yang demikian luas sektornya. Dalam kaitan ini PKS lebih mendambakan nilai-nilai seperti amanah (jujur dan bertanggung jawab) masuk sebagai sistem kekuasaan formal. Nilai-nilai konstruktif seperti ini juga idealnya masuk ke dalam diri para anggota dan pimpinan legislatif sebagai karakter, sehingga tingkah lakunya dan cara kerjanya pun penuh dengan warna amanah, dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan siap diuji oleh publik karena sistem keterbukaannya (transparan).
Harus kita catat, krisis nilai untuk seluruh aspek kehidupan demikian menampak di hadapan kita. Kondisinya sudah integrated (merasuk) ke dalam sistem budaya nasional. Karenanya, membenahinya menjadi urgen dan tanggung jawab kita semua. Persoalannya, haruskah pendekatannya dengan mengubah bentuk negara, yakni negara Islam? Pendekatan ini akan efektif jika sejumlah prasyaratnya - terutama seluruh komponen masyarakat atau bangsanya - mendukung. Sejalan dengan keterbatasan dukungan - setidaknya mempertimbangkan reaksi destruktifnya lebih menonjol - maka, pendekatan internalisasi nilai jauh lebih prospektif hasilnya. Yang perlu kita catat, nilai-nilai universal yang diperjuangkan pada hakekatnya syariat Islam itu sendiri, meski - untuk kepentingan dakwah - harus dibungkus dengan rapi: jangan dikumandangkan sebagai agenda syariatisasi Islam, tapi sebut saja rekonstruksi nilai-nilai untuk kepentingan umat manusia. Strategi ini bukan hanya mengefektifkan langkahnya, tapi juga mencerminkan sikap arifnya dalam menghadapi keberagaman masyarakat kita.
Misi perjuangan itu - dengan sejumlah strategisnya - harus mampu menginternaslisasi ke seluruh lapisan publik. Kini, yang perlu dipikirkan lebih jauh, pendekatan mana yang dinilai lebih efektif. Menerawang budaya paternalisme di tanah air, maka para elitis - formal ataupun informal, dari lembaga manapun - menjadi kata kunci menarik. Mereka harus kita catat sebagai agen pengubahan yang cukup berarti bagi kepentingan dakwah dan umat manusia. Semakin besar jumlah pemeran yang menjalankan misi perubahan dari sektor manapun, maka “proyek” internalisasi nilai lebih mempunyai harapan. Dan kini, jumlah pembawa misi pengubahan - sejalan dengan dampak globalisasi yang demikian kuat dan agresif - sangat diperlukan, meski perlu berbagai peran antarmereka, bahkan perlu inovasi ragam dakwah, dalam kaitan bentuk dakwah, media atau forum bahkan model dakwahnya. Inilah komitmen besar dalam mengusung pembangunan nilai-nilai yang mampu memperbaiki kepentingan umat manusia.
Akhir kata, pembenahan (pembangunan) nilai-nilai konstruktif kini jauh lebih mendesak dibanding memperjuangkan bentuk negara Islam. Meski bentuk ini cukup ideal bagi kepentingan umat, namun substansinya - pemberlakuan nilai-nilai Islam - jauh lebih utama. Kita perlu merenung, formalisme agama (Negara Islam) - jika hanya sebuah nama - justru menodai citra dan nilai Islam itu sendiri. Islam bukanlah hanya brand, tapi aturan (syariah) yang perlu diimplementasikan, sehingga membuahkan kebaikan bagi manusia, siapapun dia. Inilah refleksi dari rahmatan lilalamin. Itulah sebabnya, PKS lebih concern ke pengejawantahan (internalisasi) nilai-nilai dibanding memaksakan wadah formal itu.
Kiranya, sikap politik PKS dalam beragama dan bernegara cukup mencerminkan bagaimana bertata-krama dalam bermasyarakat dan atau bernegara (fatsoen politik). Harapan kita, ketata-kramaan ini menjadi aset sekaligus model yang harus dibangun bersama untuk kepentingan bangsa dan negara ke depan. Sungguh tidak proporsional jika sikap arif seperti ini dilihat dari sisi lain secara negatif. Mudah-mudahan.
Jakarta, 28 Juli 2005
Penulis: anggota DPR RI dari FPKS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home