Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

Menanti Sikap Kooperatif Rumah Sakit

Setidaknya, dalam waktu enam bulan terakhir, kita cukup dikejutkan dengan gelombang penyakit yang mewabah: mulai dari demam berdarah, polio dan busung lapar, meski beda kuantitas penderitanya. Kategori seluruh penderita sangat memprihatinkan. Diperlukan tindakan konkret, tidak hanya represif, tapi harus lebih dari itu: preventif yang harus dilakukan secara maksimal melalui gerakan promotif-ekstensif. Dan itu semua perlu partisipasi publik dari berbagai komponen. Yang menarik untuk kita catat, bagaimana sikap kooperatif rumah sakit menghadapi gelombang penyakit itu?
Fakta di lapangan menunjukkan, ketika demam berdarah melanda - karena jumlah penderitanya melonjak dalam waktu relatif bersamaan - sebagian rumah sakit (RS) di daerah ataupun di kota kewalahan. Sebagai ilustrasi faktual, di DKI saja - sampai pada Maret lalu - penderita demam berdarah mencapai 2.487 orang. Dengan jumlah RSU/K di Jakarta sebanyak 106 buah dan 334 puskesmas, hal itu tidak memberikan kemungkinan yang maksimal untuk menjangkau seluruh penderita. Di antara penderita yang dirawat inap harus rela berbaring di lorong-lorong bangsal yang tentu kurang mendukung proses penyehatan pasien. Sementara, di antara penderita polio terpaksa telah menderita lumpuh dan sangat kecil harapan untuk normal kembali. Sekedar catatan faktual, di wilayah Jawa Barat dan Banten saja, yang terkena polio sebanyak 14 anak balita. Sedangkan, jumlah penderita busung lapar di NTT - sebagai ilustrasi faktual - mencapai 119 orang. Perlu dicatat, potensi penduduk NTT, dari 463.370 orang, sebanyak 51.547 orang tercatat kurang gizi dan sebanyak 10.897 orang tercatat kurang gizi. Dan, di Kendari (Sulawesi Tenggara), terdapat 164 orang yang terkena penyakit busung lapar.
Sebenarnya, persebaran beberapa penyakit tersebut tidaklah harus terjadi. Semuanya merupakan implikasi dari ketidakkonsistenan penerapan kebijakan penyehatan seperti imunisasi. Sementara, persoalan gizi buruk yang mengakibatkan busung lapar pun selayaknya tidak terjadi jika krisis ekonomi tidak demikian resisten yang hingga kini masih terasa dan meluas dampak destruktifnya.
Semua itu telah terjadi dan Pemerintah sudah selayaknya bertindak. Dalam kaitan ini, dengan spirit solusi atas problem kesehatan masyarakat saat ini dan mendatang, Pemerintah bersama Panja DPR RI, pada 5 Juni lalu menyetujui pagu kenaikan anggaran (APBN) bidang kesehatan dari Rp 5,6016 trilyun menjadi Rp 6,2719 trilyun (APBNP). Telah disepakati pula relokasi anggaran yang bersumber dari program beras untuk orang miskin (raskin) dan sisa anggaran Depdiknas tahun lalu sebesar Rp 670,5 milyar. Bahkan, Pemerintah bersama Panja DPR menyetui alokasi anggaran untuk penjaminan pelaksanaan kesehatan senilai Rp 2,7788 atau RS negeri atau swasta, sepanjang masuk ke kelas III, sekalipun di RS tersebut terkategori elit dan berada di perkotaan. Penjaminan yang dimaksud adalah pengobatan gratis, baik dari sisi kebutuhan obat-obatan, rawat inap bahkan operasi tertentu.
Alokasi anggaran tersebut jelaslah merupakan tekad, di samping menghindari realitas penderita, juga mengatasinya secara sistimatis dan terencana. Target utamanya jelas: membangun masyarakat Indonesia sehat, saat ini dan mendatang. Dengan sasaran ini, sudah selayaknya para “mitra” kesehatan - terutama pihak RS di manapun - ikut menunjang program ini. Refleksi yang terpenting adalah kewajiban RS atau puskesmas menerima pasien dari lapisan manapun, terutama mereka yang tidak mampu. Dengan komitmen Pemerintah itu, tidak boleh lagi ada cerita penderita akhirnya menjumpai ajal hanya karena pihak RS tidak segera melakukan tindakan darurat sebagai akibat sikap keengganan (penolakan) terhadap pasien yang tak mampu. Yang perlu kita catat, kewafatan penderita akibat keterlambatan penanganan RS, bukan hanya mengecewakan keluarga yang ditinggalkan, tapi dapat dinilai “biadab” karena berandil terhadap perenggutan nyawa seseorang.
Sekali lagi, dengan struktur APBNP dan kebijakan baru (pengobatan gratis) bagi masyarakat tak mampu - meski berjatah di kelas III di setiap RS - menjadikan wajib hukumnya bagi RS di manapun untuk melayani para pasien tak mampu itu dengan sikap sigap dan maksimal. Kewajibannya bukan semata-mata masalah responsi sebagai pertanggungjawaban moral. Tapi, RS memang mendapat penggantian finansial dari Pemerintah bagi pasien yang memanfaatkan sarana atau fasilitas RS kelas III. Mekanismenya cukup sederhana: berapa banyak tempat tidur dari kelas III pada setiap RS yang dipakai dan berapa pula total biaya untuk obat. Tentu, nilai totalnya variatif: ada yang tinggi dan sebaliknya. Meski demikian, ada tingkat rata-rata pengeluaran. Dalam hal ini Pemerintah - sebagaimana yang telah disetujui DPR melalui Panja pada 3 - 5 Juni lalu - mematok sekitar Rp 150 ribu/orang/hari.
Dengan pemahaman Pemerintah tentang perilaku bisnis tersebut, sebenarnya RS di manapun - sejak dini - telah mempunyai “pangsa pasar” yang sangat jelas (captive) dan tidak dibayang-bayangi kemungkinan ketidakmampuan pembayaran pasien. Dari proporsi pasar yang captive itu, selayaknya RS perlu mengembangkan lebih jauh: bagaimana meningkatkan jumlah sarana dan prasarananya untuk menampung pasien kelas III itu. Satu hal yang layak kita garis-bawahi, peningkatan jumlah sarana dan prasarana sangat terkait dengan peningkatan pendapatan internal RS. Karena itu sungguh rugi (tidak visioner dalam berbisnis) jika peluang yang marketable ini dipandang sebelah mata oleh RS. Dan di sisi lain - dan hal ini sungguh dalam maknanya bagi dimensi kemanusiaan sikap “sosialistik” RS - bahwa peningakatan sarana dan prasarana itu merupakan komitmen kuat untuk segera mengatasi problem kesehatan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama ketika wabah melanda. Jika skenario kebijakan ini terimplementasi, maka idaman Indonesia sehat bukanlah fatamorgana.
Menghadapi komitmen kuat Pemerintah tentang kesehatan manusia Indonesia, setidaknya, ada dua hal krusial yang harus dicermati. Pertama, sangatlah mungkin masyarakat luas - terutama lapis bawah yang umumnya berpotensi masuk RS di kelas III - tidak mengetahui kebijakan baru itu. Kemungkinan ini memaksa dinas kesehatan di seluruh Indonesia harus mengambl prakrasa produktif-intensif: menginformasikan kebijakan itu kepada seluruh masyarakat sampai ke pelosok-pelosok desa. Pendekatan yang perlu “dimainkan” bukan sekedar berita (news), tapi iklan layanan masyarakat di berbagai stasiun televisi dan radio, di samping - direncanakan juga - pembuatan liflet yang dibagikan secara gratis melalui posyandu yang bertebaran di berbagai pelosok itu.

Andai di antara masyarakat belum juga mendapatkan informasi gratis pelayanan kesehatan itu, maka - sebagai hal kedua - pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti posyandu atau RS tidak mengekspolitirnya. Untuk mencegah kemungkinan buruk itu, setidaknya, ada tiga “aktor” yang harus ikut bermain, yaitu insan pers, aktivis LSM dan anggota Dewan-dinas kesehatan Pemda.
Tidaklah terlalu sulit untuk “menangkap” gejala puskesmas/RS yang “nakal”. Para insan pers ataupun para aktivis LSM - dengan mencermati loket-loket pengambilan obat, bagian adminstrasi pembayaran, atau datang ke ruang kelas III dan mengobrol ke para pasien - maka, mereka pasti akan mendapatkan sejumlah data atau informasi yang dicari. Sebagai insan pers, ia berhak memberitakan data faktual itu. Sementara, sebagai aktivis pun ia atau mereka berhak menyampaikan sikap sosialistiknya: memberitahukan kepada direksi tentang penyimpangan atas kebijakan baru prokesehatan.
Kiranya, para pihak (puskesmas ataupun RS) akan sangat jengah melihat gerakan pemantauan para insan pers dan atau LSM. Meski demikian - bukanlah bermaksud buruk sangka - para aktor monitoring itu masih mungkin dapat diajak “kerjasama”. Untuk menangkap sinyal-sinyal negatif kemungkinan ini sungguh mudah. Ketika tiada berita tentang situasi kelas III di setiap RS atau seluruh beritanya positif, maka di sana terlihat indikator kerjasama tidak baik itu. Menghadapi sinyal-sinyal negatif ini, maka aktor lainnya - sidak anggota Dewan (DPR/DPRD bersama dinas-dinas kesehatan Pemda - menjadi penting. Sidak yang dilakukan - dan ketika mendapatkan sejumlah data penyimpangan dari kebijakan baru prokesehatan itu - dijadikan dasar untuk mereview izin operasional RS. Setidaknya, mendesak untuk membicarakan kemungkinan sanksi administratif bagi pimpinan yang tidak taat kebijakan baru itu. Jika perlu - sejalan dengan misi dan komitmen kemanusiaan - siapapun yang berandil terhadap perampasan hak-hak asasi manusia layak digiring ke sanksi pidana. Sikap hukum ini menjadi penting dalam kerangka mempercepat pemulihan kesehatan manusia Indonesia. Rangkaian komitmen ini - pada akhirnya - memang memerlukan sikap kooperatif riil RS. Kita nanti.
Jakarta, 13 Juni 2005
Penulis: anggota Komisi IX DPR RI dari FPKS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home