Demi Tegaknya Keadilan dan Kesejahteraan

| Beranda | | Liputan Media | | Resume Berita | | Siaran Pers | | Aktivitas | | Artikel | | Berita Foto |

Thursday, June 22, 2006

Menanti Sikap Kooperatif Rumah Sakit

Setidaknya, dalam waktu enam bulan terakhir, kita cukup dikejutkan dengan gelombang penyakit yang mewabah: mulai dari demam berdarah, polio dan busung lapar, meski beda kuantitas penderitanya. Kategori seluruh penderita sangat memprihatinkan. Diperlukan tindakan konkret, tidak hanya represif, tapi harus lebih dari itu: preventif yang harus dilakukan secara maksimal melalui gerakan promotif-ekstensif. Dan itu semua perlu partisipasi publik dari berbagai komponen. Yang menarik untuk kita catat, bagaimana sikap kooperatif rumah sakit menghadapi gelombang penyakit itu?
Fakta di lapangan menunjukkan, ketika demam berdarah melanda - karena jumlah penderitanya melonjak dalam waktu relatif bersamaan - sebagian rumah sakit (RS) di daerah ataupun di kota kewalahan. Sebagai ilustrasi faktual, di DKI saja - sampai pada Maret lalu - penderita demam berdarah mencapai 2.487 orang. Dengan jumlah RSU/K di Jakarta sebanyak 106 buah dan 334 puskesmas, hal itu tidak memberikan kemungkinan yang maksimal untuk menjangkau seluruh penderita. Di antara penderita yang dirawat inap harus rela berbaring di lorong-lorong bangsal yang tentu kurang mendukung proses penyehatan pasien. Sementara, di antara penderita polio terpaksa telah menderita lumpuh dan sangat kecil harapan untuk normal kembali. Sekedar catatan faktual, di wilayah Jawa Barat dan Banten saja, yang terkena polio sebanyak 14 anak balita. Sedangkan, jumlah penderita busung lapar di NTT - sebagai ilustrasi faktual - mencapai 119 orang. Perlu dicatat, potensi penduduk NTT, dari 463.370 orang, sebanyak 51.547 orang tercatat kurang gizi dan sebanyak 10.897 orang tercatat kurang gizi. Dan, di Kendari (Sulawesi Tenggara), terdapat 164 orang yang terkena penyakit busung lapar.
Sebenarnya, persebaran beberapa penyakit tersebut tidaklah harus terjadi. Semuanya merupakan implikasi dari ketidakkonsistenan penerapan kebijakan penyehatan seperti imunisasi. Sementara, persoalan gizi buruk yang mengakibatkan busung lapar pun selayaknya tidak terjadi jika krisis ekonomi tidak demikian resisten yang hingga kini masih terasa dan meluas dampak destruktifnya.
Semua itu telah terjadi dan Pemerintah sudah selayaknya bertindak. Dalam kaitan ini, dengan spirit solusi atas problem kesehatan masyarakat saat ini dan mendatang, Pemerintah bersama Panja DPR RI, pada 5 Juni lalu menyetujui pagu kenaikan anggaran (APBN) bidang kesehatan dari Rp 5,6016 trilyun menjadi Rp 6,2719 trilyun (APBNP). Telah disepakati pula relokasi anggaran yang bersumber dari program beras untuk orang miskin (raskin) dan sisa anggaran Depdiknas tahun lalu sebesar Rp 670,5 milyar. Bahkan, Pemerintah bersama Panja DPR menyetui alokasi anggaran untuk penjaminan pelaksanaan kesehatan senilai Rp 2,7788 atau RS negeri atau swasta, sepanjang masuk ke kelas III, sekalipun di RS tersebut terkategori elit dan berada di perkotaan. Penjaminan yang dimaksud adalah pengobatan gratis, baik dari sisi kebutuhan obat-obatan, rawat inap bahkan operasi tertentu.
Alokasi anggaran tersebut jelaslah merupakan tekad, di samping menghindari realitas penderita, juga mengatasinya secara sistimatis dan terencana. Target utamanya jelas: membangun masyarakat Indonesia sehat, saat ini dan mendatang. Dengan sasaran ini, sudah selayaknya para “mitra” kesehatan - terutama pihak RS di manapun - ikut menunjang program ini. Refleksi yang terpenting adalah kewajiban RS atau puskesmas menerima pasien dari lapisan manapun, terutama mereka yang tidak mampu. Dengan komitmen Pemerintah itu, tidak boleh lagi ada cerita penderita akhirnya menjumpai ajal hanya karena pihak RS tidak segera melakukan tindakan darurat sebagai akibat sikap keengganan (penolakan) terhadap pasien yang tak mampu. Yang perlu kita catat, kewafatan penderita akibat keterlambatan penanganan RS, bukan hanya mengecewakan keluarga yang ditinggalkan, tapi dapat dinilai “biadab” karena berandil terhadap perenggutan nyawa seseorang.
Sekali lagi, dengan struktur APBNP dan kebijakan baru (pengobatan gratis) bagi masyarakat tak mampu - meski berjatah di kelas III di setiap RS - menjadikan wajib hukumnya bagi RS di manapun untuk melayani para pasien tak mampu itu dengan sikap sigap dan maksimal. Kewajibannya bukan semata-mata masalah responsi sebagai pertanggungjawaban moral. Tapi, RS memang mendapat penggantian finansial dari Pemerintah bagi pasien yang memanfaatkan sarana atau fasilitas RS kelas III. Mekanismenya cukup sederhana: berapa banyak tempat tidur dari kelas III pada setiap RS yang dipakai dan berapa pula total biaya untuk obat. Tentu, nilai totalnya variatif: ada yang tinggi dan sebaliknya. Meski demikian, ada tingkat rata-rata pengeluaran. Dalam hal ini Pemerintah - sebagaimana yang telah disetujui DPR melalui Panja pada 3 - 5 Juni lalu - mematok sekitar Rp 150 ribu/orang/hari.
Dengan pemahaman Pemerintah tentang perilaku bisnis tersebut, sebenarnya RS di manapun - sejak dini - telah mempunyai “pangsa pasar” yang sangat jelas (captive) dan tidak dibayang-bayangi kemungkinan ketidakmampuan pembayaran pasien. Dari proporsi pasar yang captive itu, selayaknya RS perlu mengembangkan lebih jauh: bagaimana meningkatkan jumlah sarana dan prasarananya untuk menampung pasien kelas III itu. Satu hal yang layak kita garis-bawahi, peningkatan jumlah sarana dan prasarana sangat terkait dengan peningkatan pendapatan internal RS. Karena itu sungguh rugi (tidak visioner dalam berbisnis) jika peluang yang marketable ini dipandang sebelah mata oleh RS. Dan di sisi lain - dan hal ini sungguh dalam maknanya bagi dimensi kemanusiaan sikap “sosialistik” RS - bahwa peningakatan sarana dan prasarana itu merupakan komitmen kuat untuk segera mengatasi problem kesehatan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama ketika wabah melanda. Jika skenario kebijakan ini terimplementasi, maka idaman Indonesia sehat bukanlah fatamorgana.
Menghadapi komitmen kuat Pemerintah tentang kesehatan manusia Indonesia, setidaknya, ada dua hal krusial yang harus dicermati. Pertama, sangatlah mungkin masyarakat luas - terutama lapis bawah yang umumnya berpotensi masuk RS di kelas III - tidak mengetahui kebijakan baru itu. Kemungkinan ini memaksa dinas kesehatan di seluruh Indonesia harus mengambl prakrasa produktif-intensif: menginformasikan kebijakan itu kepada seluruh masyarakat sampai ke pelosok-pelosok desa. Pendekatan yang perlu “dimainkan” bukan sekedar berita (news), tapi iklan layanan masyarakat di berbagai stasiun televisi dan radio, di samping - direncanakan juga - pembuatan liflet yang dibagikan secara gratis melalui posyandu yang bertebaran di berbagai pelosok itu.

Andai di antara masyarakat belum juga mendapatkan informasi gratis pelayanan kesehatan itu, maka - sebagai hal kedua - pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti posyandu atau RS tidak mengekspolitirnya. Untuk mencegah kemungkinan buruk itu, setidaknya, ada tiga “aktor” yang harus ikut bermain, yaitu insan pers, aktivis LSM dan anggota Dewan-dinas kesehatan Pemda.
Tidaklah terlalu sulit untuk “menangkap” gejala puskesmas/RS yang “nakal”. Para insan pers ataupun para aktivis LSM - dengan mencermati loket-loket pengambilan obat, bagian adminstrasi pembayaran, atau datang ke ruang kelas III dan mengobrol ke para pasien - maka, mereka pasti akan mendapatkan sejumlah data atau informasi yang dicari. Sebagai insan pers, ia berhak memberitakan data faktual itu. Sementara, sebagai aktivis pun ia atau mereka berhak menyampaikan sikap sosialistiknya: memberitahukan kepada direksi tentang penyimpangan atas kebijakan baru prokesehatan.
Kiranya, para pihak (puskesmas ataupun RS) akan sangat jengah melihat gerakan pemantauan para insan pers dan atau LSM. Meski demikian - bukanlah bermaksud buruk sangka - para aktor monitoring itu masih mungkin dapat diajak “kerjasama”. Untuk menangkap sinyal-sinyal negatif kemungkinan ini sungguh mudah. Ketika tiada berita tentang situasi kelas III di setiap RS atau seluruh beritanya positif, maka di sana terlihat indikator kerjasama tidak baik itu. Menghadapi sinyal-sinyal negatif ini, maka aktor lainnya - sidak anggota Dewan (DPR/DPRD bersama dinas-dinas kesehatan Pemda - menjadi penting. Sidak yang dilakukan - dan ketika mendapatkan sejumlah data penyimpangan dari kebijakan baru prokesehatan itu - dijadikan dasar untuk mereview izin operasional RS. Setidaknya, mendesak untuk membicarakan kemungkinan sanksi administratif bagi pimpinan yang tidak taat kebijakan baru itu. Jika perlu - sejalan dengan misi dan komitmen kemanusiaan - siapapun yang berandil terhadap perampasan hak-hak asasi manusia layak digiring ke sanksi pidana. Sikap hukum ini menjadi penting dalam kerangka mempercepat pemulihan kesehatan manusia Indonesia. Rangkaian komitmen ini - pada akhirnya - memang memerlukan sikap kooperatif riil RS. Kita nanti.
Jakarta, 13 Juni 2005
Penulis: anggota Komisi IX DPR RI dari FPKS

Bom di Tengah London: Dimensi Kemanusiaan

Boleh jadi, Tonny Blair tidak menduga sebagian wilayah negerinya menjadi sasaran bom teroris. Namun, kalangan lain tentu sudah memperkirakan akan terjadi tindakan kekerasan yang merenunggut nyawa, setidaknya, melukai banyak orang, berat ataupun ringan. Yang perlu kita catat lebih jauh, apa makna yang dapat kita lansir dari aksi antikemanusiaan itu?
Barangkali, Tuan Tonny Blair dan para sekutu utamanya dari Amerika atau lainnya perlu merenung secara introspektif. Bukan persoalan keamanan yang kecolongan, tapi implikasi yang memang - secara sunnatullah - akan muncul akibat kebijakan pemerintahannya ataupun hasil konspirasinya yang sungguh melukai kepentingan kemanusiaan. Dalam hal ini, umat sedunia tentu sepakat tentang ketidakrelaannya membiarkan rezim Saddam di tengah Irak karena kediktatorannya. Namun, umat sedunia juga tak rela melihat kebiadaban Inggris dan para sekutunya dalam membantai sebuah bangsa yang sudah menderita sekian lama itu.
Boleh jadi, bom di tengah London merupakan peringatan terhadap Blair dan para pemimpin dunia lainnya yang - secara sistimatis - telah menghancurkan kepentingan kemanusiaan di tengah Irak ataupun belahan lainnya. Peringatan ini haruslah jangan dilihat sebagai pembalasan, tapi bagaimana menghentikan kebiadabannya selama ini di berbagai belahan bumi, tidak hanya di Irak. Pemerkosaan hak hidup - apalagi secara sporadis dan ekstensif - akan membangkitkan perlawanan. Proporsinya sunnatullah.
Sebenarnya, peringatan dari para korban - terutama dari berbagai kalangan yang empati - sudah sering diekspresikan. Tapi, pendekatan verbal berupa kecaman tulis ataupun lisan tidak pernah digubris: kebijakan antikemanusiaan terus berlanjut, meski berdalih memerangi terorisme di muka bumi ini. Tentu dalih ini (memerangi terorisme) perlu kita junjung tinggi, tapi syaratnya adalah tidak membabi-buta. Justru, pembabi-butaan ini menggiring pertanyaan yang cukup mendasar, apakah aksi antiterorisme hanyalah kedok dan intinya merupakan strategi global untuk memusnahkan komunitas tertentu (muslim) dari berbagai etnik? Pertanyaan ini tak lepas dari minimnya tindakan terhadap komunitas lainnya yang diduga kuat juga sering melakukan tindakan kekerasan (antikemanusian). Diskriminasi ini merefleksikan bukan hanya ketidakadilan, tapi memang mempertegas alamat yang harus dibidik (muslim).
Dalam hal ini - boleh jadi - kalangan muslim sendiri tak sependapat dengan skenario pembantaian etnik dan rasial yang bernuansa agamis ini. Tapi, marilah kita berpikir jernih dalam melihat fenomena ketidakadilan itu dan siapa korban yang sering dirugikan, baik akibat serangan secara sistimatis dengan kekuatan senjatanya, atau konspirasi politik lainnya. Inilah realitas yang tak dapat dipungkiri, meski dalam komunitas muslim lainnya terlepas dari bidikan. Komunitas yang selama ini dinilai sebagai aliran moderat ini - jika kita amati secara jernih - memang berusaha menjauh dari tindakan kontranya dengan kepentingan asing. Karenanya dapat dihapami pula di antara komunitas muslim ini - dalam berbagai hal - mendapat santunan tertentu dalam jumlah yang cukup signifikan. Mengalir dari pihak asing untuk mereka yang senantiasa diam atas arogansi asing dalam bentuk bantuan program, termasuk beasiswa dan lainnya.
Hak mereka untuk memilih tidak berseberangan dengan kepentingan negara-negara maju. Namun, sikap ini layak kita pertanyakan sejalan dengan identitas kesaudaraan sesama umat yang harusnya saling membahu, bukan melemahkan saudaranya sendiri. Boleh jadi, sikap kebersatuan sesama muslim terlalu utopis. Jika barisan muslim yang sering menegaskan diri anti dengan istilah fondamentalis ini memang mengagungkan kemansiaan, maka refleksi yang terpentingnya adalah juga menyikapi secara kritis terhadap para koleganya dari asing itu yang memang sering menabrak kepentingan kemanusiaan di muka bumi ini. Realitas kekerasan yang diperlihatkan di muka bumi itulah yang harus disikapi, bukan diam hanya karena menjaga nilai persahabatan yang sebenarnya bernuansa pragmatik-sempit.
Jika kita soroti kembali persoalan bom di tengah London beberapa hari lalu, kita dapat menggaris-bawahi bahwa ledakan itu jauh tidak sebanding dengan apa yang terjadi di Irak, Palestina atau negara-negara lainnya yang muslimnya menjadi bidikan. Memang, jumlah korbannya (yang mati) mencapai sekitar 50 orang dan sekitar 700 orang luka-luka. Jumlah korban ini terkategori besar, tapi masih tetap jauh di bawah jumlah korban yang menimpa anak bangsa Irak, Palestina. Lebih dari itu, tim penanganan pasca ledakan itu - terutama yang luka-luka - begitu cepat dan sarananya pun memadahi. Sementara, korban yang bergelimpangan di tengah Irak bahkan tempat lainnya seperti di Palestina tak diimbangi dengan kesigapan yang memadahi. Sementara, sarana mediknya pun sangat terbatas. Kalau toh ada, prasarananya bahkan tenaga mediknya tidak mencukupi. Kita dapat membayangkan betapa sejumlah aksi kekerasan di tengah Irak dengan persenjataan canggih itu benar-benar melampaui batas ketidakmanusiaan, padahal misi formal yang dikumandangkan adalah kemanusiaan itu sendiri. Sangat paradoks dan ironis.
Dengan paradoksalitas itu, kita perlu mencatat bahwa apa yang terjadi di tengah London adalah hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan, apalagi dipolitisasi: dirancang untuk menjastifikasi tindakan antiterorismenya secara membabi-buta. Tapi, jika Inggris dan para sekutunya menjadikan bom London sebagai stimulus untuk meningkatkan aksi antikemanusiaannya di berbagai belahan dunia dan gelagat ini sudah mulai muncul, maka sebagian masyarakat kita semakin mencium skenario terselubung di balik aksi teror itu. Yaitu, memperkuat gerakan pencitraan negatif terhadap komunitas tertentu yang selama ini memang menjadi bidikan utama, sekaligus menjastifikasi kebijakan politik luar negerinya dalam ikut serta membantai anak-bangsa Irak. Dengan model analisis ini, kita dapat menangkap substasi ledakan bom di tengah London. Yaitu, sebuah manuver politik dalam kerangka mendongkrak populeritas Blair. Dan sekarang ini, Blair memang membutuhkan pendongkrakan itu.
Yang perlu kita catat, sensasi untuk kepentingan sempit pribadinya harus menelan rakyatnya sendiri. Ketegaan ini menjadikan sebagian publik internasional menemukan jawaban mengapa Blair ngotot bersama Bush dan para pemimpin dunia lainnya dalam mengagresi bangsa Irak hingga kini. Haruskah realitas ketegaan itu ditolelir, meski wajah yang disampaikan selalu atas nama antiterorisme? Juga, haruskah manut (tunduk) dengan segenap titahnya untuk memerangi terorisme?
Tentu kita sepakat bahwa tindakan teroristik harus dihentikan. Namun pendekatannya tidak boleh dengan cara-cara teroristik juga. Sejauh ini kita saksikan pendekatan yang dikembangkan - dan hal ini yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara maju dari barat atau timur, setidaknya merupakan buah persekongkolan - adalah menumpasnya dengan kekerasan pula, lebih kejam, menelan korban dalam jumlah yang jauh lebih besar. Di sisi lain, dilakukan pula agitasi (pencitraan negatif) terhadap kalangan tertentu yang cenderung lebih dialamatkan ke identitas muslim. Sementara para aktor kekerasan dari komunitas lainnya seperti diabaikan (tidak menjadi sasaran atau target). Terdapat sikap diskriminatif yang cukup kontras.
Tak dapat disangkal, pendekatan tersebut - secara sistemik - justru membangun kekecewaan yang mendalam bagi kalangan muslim khususnya yang selama ini memang menjadi target dengan berbagai rekayasanya. Inilah yang harus dipahami dan selanjutnya - dalam kerangka mencegah potensi terorisme - harus mengurangi cara-cara teroristik dan sejumlah skenario yang terus mendeskreditkan kepentingan umat. Proporsinya sarat dengan dimensi kemanusiaan. Karenanya, semua komponen - dari barat ataupun timur, dari barisan muslim tanpa membedakan warna - perlu melihat dengan jernih atas dimensi kemanusiaan ini. Refleksinya adalah kebersamaan sikap dalam menghadapi arogansi siapapun yang mengedepankan kekerasan, meski atas nama antiterorisme. Sudah saatnya kita semua memperlihatkan kebersamaan itu. Urgensinya untuk misi kemanusiaan.
Jakarta, 11 Juli 2005
Penulis: anggota DPR RI dari FPKS

PKS-Negara Islam: Fatsoen Politik


Keberadaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kian disorot oleh publik, tidak hanya di tanah air ini, tapi tampaknya juga masyarakat internasional. Yang menjadi pusat perhatiannya bukan prestasi kinerjanya, tapi ideologi partai yang sarat dengan nilai-nilai Islam, di samping para kadernya - dari Pusat hingga ranting - terlihat punya integritas terhadap agamanya. Dominasi nilai yang dikandungnya mendorong sebagian publik domestik bahkan sebagian masyarakat internasional mempertanyakan, akankah PKS mendirikan negara Islam di tanah air yang masyarakatnya sangat majemuk ini?
Dapat dipahami pertanyaan yang penuh curiga itu. Landasannya - pertama - masyarakat tampaknya meyakini bahwa perkembangan PKS ke depan akan lebih besar lagi. Perkiraan ini didasarkan pada reputasi kinerja yang dicapai pada pemilu 2004 lalu, soliditas partai yang relatif terjauh dari situasi konfliktual internal, perilaku politik para kadernya di lembaga legislatif atau lainnya yang dinilai masyarakat cukup santun, memegang amanah dan akuntabiltas. Semua ini - diakui banyak kalangan - menjadi faktor penting yang mampu menumbuhkan empati sebagai besar publik dari kalangan agamis atau lainnya. Empati ini - dalam perspektif politik - jelas berkorelasi positif terhadap prediksi kian membessarnya PKS dalam pemilu 2009 mendatang. Prediksi akan diuji lagi melalui keberhasilannya pada kompetisi pilkada di berbagai daerah.
Dari perkiraan itu, sebagian masyarakat melihat potensi PKS yang memberi kemungkinan untuk tampil sebagai the roling party. Setidaknya, akan menjadi mitra utama secara dominan dalam mendampingi penguasa, sehingga posisinya memang punya daya tawar (bargaining position) tinggi. Dari prediksi ini, maka dapat dipahami kecurigaan sebagian publik bahwa keberhasilannya akan dijadikan momentum untuk memperjuangkan obsesi tertentu yang bernilai agamis, termasuk bentuk negara Islam. Kecurigaan ini - sebagai landasan kedua - tak lepas dari dukungan riil masyarakat yang memang tampak agamis. Berangkat dari warna pendukung ini, maka cita-cita melahirkan negara Islam dapat dikatakan merupakan amanat konstituen (rakyat) yang tak boleh diingkari. Bukan tak mungkin, persoalan negara Islam merupakan kontrak social yang harus diperjuangkan.
Hak mereka (kalangan non PKS) untuk menilai seperti itu. Namun, penulis sebagai kader PKS perlu mereview dengan jernih. Dalam hal ini PKS menyadari sepenuhnya makna sejarah kelam tentang memperjuangkan negara Islam tempo dulu. Di sisi lain, PKS pun sangat memahami hetergonitas masyarakat dalam beragama, pandangan bahkan kepentingan yang sangat tidak mungkin dipaksakan satu (harus sama), termasuk masalah HAM yang sering dijadikan senjata para kontrarian dari dalam ataupun luar negeri. Bahkan, PKS pun sangat menyadari sorotan dunia internasional yang cenderung tidak fair atau tidak proporsional dalam melihat kiprah saudara-saudara kita yang berusaha kaffah dalam menjalankan nilai-nilai Islam.
Realitas kemajemukan masyarakat - secara sosiologis dan psikologis - akan menjadi faktor destruktif tersendiri jika dipaksakan untuk menerima kehendak pihak tertentu seperti bentuk negara Islam. Pemaksaan - dalam perspektif dakwah - justru tidak strategis karena berdampak pada penjauhan sasaran atau target, bahkan lebih vital: kian tidak disukai. Sementara, pemaksaan itu - jika kita lihat kembali nash al-Qur`an (Q.S al-Ikhlas: 4) - pun dapat dinilai tidak sejalan. Secara eksplisit, ayat ini bukan hanya mengajarkan toleransi dalam beragama, tapi juga menghargai adanya pilihan lain dengan segala konsekuensinya.
Bagi PKS, yang jauh lebih penting adalah nilai-nilai Islam yang mampu mewarnai seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks negara, teman-teman PKS di berbagai lini - yang ada di parlemen atau lainnya - senantiasa memperjuangkan urgensi pengelola negara yang bersih (clean government atau good governance) dari unsur korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, penegakan hukum dan kepentingan publik pada umumnya yang menyentuh ke persoalan kesejahteraan, hak kesehatan, hak pendidikan dan lainnya yang demikian luas sektornya. Dalam kaitan ini PKS lebih mendambakan nilai-nilai seperti amanah (jujur dan bertanggung jawab) masuk sebagai sistem kekuasaan formal. Nilai-nilai konstruktif seperti ini juga idealnya masuk ke dalam diri para anggota dan pimpinan legislatif sebagai karakter, sehingga tingkah lakunya dan cara kerjanya pun penuh dengan warna amanah, dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan siap diuji oleh publik karena sistem keterbukaannya (transparan).
Harus kita catat, krisis nilai untuk seluruh aspek kehidupan demikian menampak di hadapan kita. Kondisinya sudah integrated (merasuk) ke dalam sistem budaya nasional. Karenanya, membenahinya menjadi urgen dan tanggung jawab kita semua. Persoalannya, haruskah pendekatannya dengan mengubah bentuk negara, yakni negara Islam? Pendekatan ini akan efektif jika sejumlah prasyaratnya - terutama seluruh komponen masyarakat atau bangsanya - mendukung. Sejalan dengan keterbatasan dukungan - setidaknya mempertimbangkan reaksi destruktifnya lebih menonjol - maka, pendekatan internalisasi nilai jauh lebih prospektif hasilnya. Yang perlu kita catat, nilai-nilai universal yang diperjuangkan pada hakekatnya syariat Islam itu sendiri, meski - untuk kepentingan dakwah - harus dibungkus dengan rapi: jangan dikumandangkan sebagai agenda syariatisasi Islam, tapi sebut saja rekonstruksi nilai-nilai untuk kepentingan umat manusia. Strategi ini bukan hanya mengefektifkan langkahnya, tapi juga mencerminkan sikap arifnya dalam menghadapi keberagaman masyarakat kita.
Misi perjuangan itu - dengan sejumlah strategisnya - harus mampu menginternaslisasi ke seluruh lapisan publik. Kini, yang perlu dipikirkan lebih jauh, pendekatan mana yang dinilai lebih efektif. Menerawang budaya paternalisme di tanah air, maka para elitis - formal ataupun informal, dari lembaga manapun - menjadi kata kunci menarik. Mereka harus kita catat sebagai agen pengubahan yang cukup berarti bagi kepentingan dakwah dan umat manusia. Semakin besar jumlah pemeran yang menjalankan misi perubahan dari sektor manapun, maka “proyek” internalisasi nilai lebih mempunyai harapan. Dan kini, jumlah pembawa misi pengubahan - sejalan dengan dampak globalisasi yang demikian kuat dan agresif - sangat diperlukan, meski perlu berbagai peran antarmereka, bahkan perlu inovasi ragam dakwah, dalam kaitan bentuk dakwah, media atau forum bahkan model dakwahnya. Inilah komitmen besar dalam mengusung pembangunan nilai-nilai yang mampu memperbaiki kepentingan umat manusia.
Akhir kata, pembenahan (pembangunan) nilai-nilai konstruktif kini jauh lebih mendesak dibanding memperjuangkan bentuk negara Islam. Meski bentuk ini cukup ideal bagi kepentingan umat, namun substansinya - pemberlakuan nilai-nilai Islam - jauh lebih utama. Kita perlu merenung, formalisme agama (Negara Islam) - jika hanya sebuah nama - justru menodai citra dan nilai Islam itu sendiri. Islam bukanlah hanya brand, tapi aturan (syariah) yang perlu diimplementasikan, sehingga membuahkan kebaikan bagi manusia, siapapun dia. Inilah refleksi dari rahmatan lilalamin. Itulah sebabnya, PKS lebih concern ke pengejawantahan (internalisasi) nilai-nilai dibanding memaksakan wadah formal itu.
Kiranya, sikap politik PKS dalam beragama dan bernegara cukup mencerminkan bagaimana bertata-krama dalam bermasyarakat dan atau bernegara (fatsoen politik). Harapan kita, ketata-kramaan ini menjadi aset sekaligus model yang harus dibangun bersama untuk kepentingan bangsa dan negara ke depan. Sungguh tidak proporsional jika sikap arif seperti ini dilihat dari sisi lain secara negatif. Mudah-mudahan.
Jakarta, 28 Juli 2005
Penulis: anggota DPR RI dari FPKS

Anak-bini Koruptor: Haruskah Dipenjara?


Belum lama ini, ketua MPR menyampaikan sikap: anak dan bini koruptor perlu mendapatkan sanksi (dipenjara) sesuai dengan tindakan hukum sang ayah atau suami yang berkorupsi setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap. Sebuah sikap yang berlebihan dan tidak proporsional, atau memang layak?
Jawabnya sangat tergantung dari siapa yang menilai. Kalangan ahli dan praktisi hukum kemungkinan tersenyum geli, karena sistem hukum kita bahkan di manapun memang tidak mengenalnya. Meski demikian, apakah ketiadaan sistem itu menimbulkan ketidakbolehan apalagi larangan dalam mengambil tindakan hukum yang justru kini dinanti urgensinya oleh banyak publik untuk kepentingan rekonstruksi berbagai aspek kehidupan? Apakah ketiadaannya juga menimbulkan tindakan hukumnya menjadi cacat hukum sehingga harus batal demi hukum itu sendiri?
Memang, secara teoritik, tiadanya dasar hukum yang pasti menjadikan hasil hukumnya lemah, bahkan cacat. Karenanya, siapapun dapat menuntut untuk menganulir sebuah keputusan atau produk hukum yang tak berdasar itu. Dalam hal ini, kita perlu mencatat – pertama – hukum positif yang ada adalah produk manusia yang tak mungkin lepas dari kelemahan, apalagi sebagian besar pijakannya warisan kolonial Belanda. Untuk itulah perlu dipikirkan tentang penyesuaiannya dengan tuntutan objektif masyarakat. Kedua, produk hukum tak boleh terlepas dari anasir sosiologis, dalam konteks kondisi sosial itu sendiri atau lainnya seperti ekonomi, budaya dan politik. Pengaitan sejumlah unsur ini akan mencerminkan eksistensi hukum yang kontekstual: sesuai perkembangan zaman.
Kita tahu, para koruptor – apalagi kelas kakap – sangat tidak mungkin menikmatinya sendirian. Keluarganya (anak-istri, bahkan cucu dan atau cicitnya) tak sedikit yang ikut menikmatinya, mulai dari bentuk sarana dan prasarana yang dibangun dari harta kotor itu, sampai banyak hal yang dapat dirasakan seperti makanan dan minuman.
Dalam perspektif keagamaan (Islam), siapapun yang ikut menikmati harta haram itu – terutama dari makanan dan minuman – menjadikan darah yang mengalirnya tidak “sehat”. Semakin sering atau banyak menikmatinya, semakin tidak sehat aliran darahnya. Implikasinya, sebagian mereka sering diterpa penyakit pada fisiknya. Tapi, sebagian lagi sakit mentalnya. Dan inilah yang membuat keluarga koruptor – secara empirik – sering bermasalah, minimal, ketidaktenangan. Ada saja masalah. Pendek kata, nilai hartanya tidak memberikan barokah.
Perspektif keagamaan itu – secara qiyasi – sebenarnya bisa dijadikan kerangka hukum atau undang-undang untuk menentukan sikap kepada siapa saja yang ikut menikmati harta haram (korupsi). Refleksinya, ketiadaan sistem hukum tentang tanggung jawab renteng perlu dan segera dirumuskan inovasi produk hukumnya. Landasannya, langkah ini merupakan tuntutan objektif, di mana anak-bini dan atau keluarga koruptor bukan hanya ikut menikmati harta ilegalnya, tapi begitu leluasa menghirup alam bebas, padahal dirinya ikut menikmati manisnya hasil korupsi.
Mereka semakin merasakan kenikmatannya ketika suami (koruptor) dapat menyelamatkan diri ke luar negeri. Dengan keselamatan anak-bini – ditambah sang koruptornya juga selamat – maka lengkaplah rancang-bangun dunia korupsi di tanah air ini dan kian berdaya tarik bagi para “kandidat” koruptor. Maka, korupsi bukan hanya kian berkembang, tapi terus mengakar dengan begitu kuatnya. Sementara, jika anak-istri tetap jauh dari suami (atau istri) koruptor yang kabur, penderitaannya hanyalah masalah tidak jumpa keluarga. Meski perpisahan ini menyakitkan, tapi sanksi yuridis seperti dipenjara jauh lebih menderitakan.
Satu hal yang tak boleh diabaikan – sebagai hal ketiga – tak sedikit suami yang berkorupsi karena dorongan bini dan atau anak. Realitas ini menjadikan proporsi tanggung jawab renteng punya landasan sosiologis yang cukup kuat. Karena itu, sikap dan pemikiran Ketua MPR, bukan hanya punya landasan, tapi juga sesuai dengan aspirasi publik yang menghendaki penegakan hukum dan terwujudnya keadilan.
Barangkali, yang perlu ditegaskan adalah batasan usia keluarga (anak) yang ikut menikmati harta haram. Dalam sistem hukum barat, tindakan hukum yang dapat dipertangungjawabkan adalah usia 17 tahun ke atas, atau usia sebelumnya tapi telah nikah. Sedangkan Islam adalah aqil baligh: maksimal 15 tahun. Andai yang dijadikan dasar hukum barat, maka anak-anak yang telah berusia 17 tahun atau telah nikah, harus ikut bertanggung jawab atas tindakan koruptif orang tuanya.
Sebuah spirit yang perlu digaris-bawahi, dilibatkannya anak-bini dalam kasus korupsi suaminya atau anak-suami pada kasus korupsi istrinya menggerakkan mereka terpanggil untuk bersama-sama mengontrol bahkan mencegah tindakan korupsi keluarganya. Sistem kontrol atau pencegahan dari dalam ini sebenarnya dapat dijadikan model yang cukup efektif dalam menghadapi gurita korupsi di tanah air ini.
Di sinilah peran anggota keluarga. Sepanjang tekad dan gaya hidupnya konstruktif, insya Allah, akan memberikan pengaruh baik bagi pribadinya. Karenanya, model ini dapat kita diskusikan lebih jauh, baik dari sisi inovasi produk hukum, komitmen dan urgensi penegakan hukum untuk kepentingan publik, beragam kendala yang selama ini menggurita dan terobosan alternatif yang prospektif.
Jika seluruh variabel itu disorot, kiranya model preventif dari peran anggota keluarga lebih memberikan harapan. Barangkali yang perlu disorot lagi, perlu ada aturan main baru bahwa di tengah lembaga-lembaga layanan publik, siapapun (jika ia suami) yang akan memegang jabatan – termasuk anggota keluarganya (sebagai anak atau bini) yang telah dewasa menurut hukum – perlu menanda-tangani “kontrak sosial”.
Sebuah makna signifikan dari nilai kontrak sosial itu adalah – pertama – keterlibatan anggota keluarga untuk senantiasa ikut mengawasi sekaligus mempertanyakan nilai harta yang diperolehnya, terutama pendapatan di luar gaji rutinnya. Peranan keluarga bagai sistem pengawasan melekat yang jauh lebih riil dibanding sistem pengawasan yang pernah dikembangkan mantan Wapres Sudarmono yang ternyata tidak dapat bicara banyak hasilnya. Kedua dan hal ini tampaknya dapat menjadi kecenderungan baru, yaitu tak akan terjadi upaya yang memburu jabatan strategis dalam lembaga layanan publik, setidaknya menjauhinya. Meski terdapat tunjangan jabatan dengan nilai rupiah tertentu, namun konsekuensi hukum untuk dirinya dan keluarganya (anak-bini) jauh lebih berisiko: di samping tahanan dan atau pemenjaraan, juga rasa malu karena pempublikasiannya yang ekstensif.
Sebuah manfaat konstruktif dari kecenderungan baru itu adalah akan semakin berkurangnya perilaku penjilatan terhadap atasan yang selama ini sering terjadi dalam kerangka mencapai target jabatan. Juga, akan semakin terjauhkan dari praktik kompetisi tidak sehat akibat memburu jabatan. Dan di luar persoalan internal itu, siapapun yang telah mendapat jabatan akan ngeri dalam memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan sempit pribadinya (kolusi, apalagi korupsi).
Dan ketiga, kontrak sosial dan konsekuensinya itu – insya Allah – akan mendorong keluarga (anak-bini) untuk menerima apa adanya atas pendapatan yang dicapai suaminya. Secara langsung atau tidak, sikap ini berpotensi untuk membangun gaya hidup sederhana yang selama ini sering didengungkan dan cenderung lip service. Dalam kaitan ini kita dapat berandai-andai, jika pejabat publik dan keluarganya dapat hidup sederhana, tentu akan memberikan kontribusi positif-konstruktif bagi upaya pemulihan ekonomi nasional.
Warna baru kesederhanaan hidup pejabat publik itu pun bukan tak mungkin dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Mereka – ketika ingin masuk ke PNS – tidak lagi harus memaksakan diri untuk menyogok, sebuah format budaya yang kini masih mengkristal dan sering dieksploitasi oleh oknum tertentu. Bukanlah tak mungkin, keengganan itu karena melihat realitas kehidupan para pejabat publik yang tidak lagi serba “wah” dan terus dibayang-bayangi ancaman hukuman jika keluar dari rel. Dengan cara pandang seperti ini, maka siapapun yang masuk ke PNS memang – dari awal – sudah bermotivasi untuk mengabdi, bukan sebaliknya.
Dengan mencermati sejumlah efek samping itu, maka ketiadaan sistem tanggung jawab renteng dalam kamus hukum – terutama yang terkait dengan korupsi dan kolusi – sudah saatnya dirumuskan serius kelahirannya. Sejalan dengan pengaruh konstruktifnya cukup nyata bagi kepentingan publik, maka tidaklah berlebihan jika muncul opini bahwa gagasan Ketua MPR bukan hanya tidak melawan arus, tapi memang cukup krusial dan urgen kehadirannya. Harapan kita, semoga gagasannya bukan hanya wacana, tapi sampai pada tingkat realisasi sehingga keberadaannya akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan publik. Mudah-mudahan.
(Dimuat Harian Fajar, 22 Agustus 2005)

Mengembalikan Citra Baik Pemerintah


Sejak itu, aksi demonstrasi terus berlangsung, terutama dari kalangan mahasiswa. Sebagian besar fraksi di DPR juga bereaksi keras, meskipun sebagian lagi ada yang memahami kenaikan harga BBM itu. Perbedaan pendapat tadi memuncak pada sidang paripurna DPR Puncaknya terjadi 'kericuhan' saat rapat paripurna DPR. Muncul renungan, benarkah keberatan sejumlah teman di lembaga legislatif, terutama FPDIP, karena berupaya keras untuk memperingan beban ekonomi rakyat, atau merupakan pembalasan politik atas kekelahan kandidatnya dalam perebutan kekuasaan dalam Pemilu 2004?
Jika berjuang demi rakyat, mangapa saat Megawati berkuasa, mereka tidak bersikap atas kebijakan kenaikan harga BBM yang rata-ratanya mencapai Rp 216,24 per liternya? Bahkan, juga kenaikan tarif dasar listrik yang mencapai 42 persen dan kenaikan tarif dasar telepon sebesar 35 persen? Jika mereka konsisten membela kepentingan rakyat, mereka harusnya menentang keras kebijakan yang dikeluarkan pada 2 Januari 2003 itu?
Hikmah
Meski demikian, manuver politik di parlemen itu mengandung hikmah besar. Yaitu, pemerintah harus lebih kuat untuk mengefektifkan program penyaluran dana kompensasi BBM untuk mengurangi angka kemiskinan. Pemerintah harus segera menindak secara hukum manakala terjadi penyalahgunaan dana kompensasi BBM, terutama korupsi yang dilakukan birokrasi. Selama ini, rakyat menyangsikan dana tersebut akan sampai pada yang berhak. Krisis kepercayaan itu merupakan warisan masa lalu karena lembaga birokrasi cenderung menilep dana-dana sosial untuk kepentingan publik. Itulah sebabnya maka pemerintah harus lebih tajam dan tegas dalam memantau aliran dana kompensasi BBM. Dari penindakan tegas terhadap para pihak yang menyalahgunakan dana kompensasi BBM berlanjut ke penegakan supremasi hukum lainnya.
Dalam hal ini, pemerintah melalui Kejaksaan Agung harus jauh lebih terpanggil dalam mengatasi problem korupsi-kolusi yang melibatkan pejabat tinggi negara (yang masih aktif ataupun mantan) dan kalangan konglomerat hitam yang selama ini tercatat ''kebal hukum''. Ampuhnya penegakkan hukum menjadi semacam ''kompensasi'' tersendiri bagi rakyat.
Pasalnya, para koruptor yang masih menghirup udara bebas itu telah memakan uang negara yang notobene seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Secara tidak langsung, jebolnya keuangan negara mendorong pemerintah melakukan berbagai pengetatan, termasuk menghapus subsidi BBM. Jadi, tak ada alasan lagi bagi pemerintah dan aparat untuk 'bermain-main' dengan para koruptor.
Mencermati lembeknya penegakan hukum di Indonesia, rasanya wajar ketika salah seorang anggota Dewan mengkritik jaksa agung sebagai ''ustadz di kampung maling''. Sayangnya, kiasan ini tidak dipahami substansi dan spiritnya. Sungguh disayangkan kritik yang seharusnya menggelorakan semangat pemberantasan korupsi justru diabaikan dan dijadikan sikap politik untuk tidak kooperatif terhadap Dewan. Padahal, komitmen dan realisasi penegakkan hukum akan menumbuhkan sentimen pasar yang positif dan mengembalikan citra pemerintah yang bersih.
Di sisi lain, pemerintah sudah saatnya memantau secara serius dan bersikap proaktif terhadap lembaga-lembaga birokrasi masih korup. Pemerintah harus melakukan pembenahan bahkan reformasi internal, terutama lembaga yang berkaitan dengan masalah keuangan, seperti Departemen Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Menurut temuan Transparancy International Indonesia (TII), tingkat kebocoran di Ditjen Pajak karena faktor suap (tidak masuk ke kas negara) mencapai Rp 12,7 miliar per tahun. Di lembaga Bea Cukai kebocoran mencapai Rp 23 miliar per tahun.
Mutasi
Banyak upaya yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan perbaikan birokrasi. Sekali lagi, prinsip utama yang harus dipegang adalah pemerintah harus bertindak tegas terhadap siapa pun yang terbukti menyalahgunakan jabatan. Bentuknya antara lain pemprosesan hukum bagi sang pelaku, atau segera memecat, minimal memutasikan mereka.
Pos-pos yang dikenal 'basah' harus diisi oleh pejabat dan pegawai yang amanah dann teruji integritasnya. Cukup banyak pegawai yang antikorupsi. Mereka memiliki tingkat ketakwaan yang cukup kukuh sehingga berkomitmen untuk memegang teguh amanah yang diembankan padanya. Tindakan itu awalnya akan mempersulit dinamika kerja birokrasi akibat perubahan sistem. Namun, para pejabat yang jujur dan amanah sepanjang didukung kuat oleh pemrintah pusat, insya Allah akan mampu merestrukturisasi sistem yang amburadul dan korup itu. Hasil yang segera tampak adalah peningkatan pendapatan dari sektor pajak dan bea cukai. Kebijakan ini menjadi pertanda adanya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.
Citra positif yang terpancar dari bersihnya birokrasi akan meningkat lagi apabila pemerintah pascakenaikan harga BBM membuat kebijakan prorakyat. Misalnya, menerapkan kebijakan biaya pendidikan gratis, atau pengobatan gratis (seperti di puskesmas dan rumah sakit umum). Pemerintah harus melihat bahwa banyak penduduk miskin yang takut berobat ke rumah sakit karena dibayangi biaya yang mahal. Banyak yang rumah sakit yang tidak bersikap kooperatif terhadap rakyat miskin. Pasien bahkan harus membayar di muka apabila hendak di rawat di rumah sakit.
Memang sejauh ini ada rumah sakit umum apalagi puskesmas yang memberikan pelayanan pengobatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu. Tapi, semua itu dilakukan setelah melalui proses birokrasi yang panjang dan berbelit, mulai dari tingkat RT/RW sampai keluarahan untuk mendapatkan keterangan keluarga tak mampu. Sementara, pihak rumah sakit umum --sebelum keterangan tak mampu diperoleh-- tetap memberlakukan pembayaran atas semua jasa yang diberikannya.
Jadi, andai pemerintah berani mengeluarkan kebijakan populis seperti itu, tentu aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM malah tidak populer di mata rakyat. Dengan demikian, pascakenaikan harga BBM, pemerintah ditantang untuk segera memperlihatkan gebrakan riilnya, dalam kaitan kompensasi dana BBM, atau kompensasi bentuk lainnya seperti penegakkan supremasi hukum, pendidikan gratis, dan layanan kesehatan. Inilah sikap bijak pemerintah yang akan jauh lebih terpuji, sekaligus menjadi model taktis untuk menjawab keberatan para penentang kenaikan harga BBM.
(Harian Republika, Sabtu, 02 April 2005)

Monday, June 12, 2006

Salam Perjuangan

SELAMAT DATANG di PORTAL KAMI!